Minggu, 08 Maret 2015

Lagi-Lagi, Gak Lulus Kuliah, Dua Pemuda Ini Sukses Jadi Miliarder

http://www.afr.com/r/2009-2014/BRW/2013/09/18/Photos/d9a078a6-201b-11e3-a398-0273aaa06f7e_431J9847_6_0_3573634656--620x420.JPG
 
 Scott Farquhar dan Mike Cannon-Brookes, pendiri Atlassian, perusahaan yang menjual software ke berbagai perusahaan besar di dunia, kini masuk daftar miliarder baru Australia setelah perusahaan IT itu mendapatkan pembiayaan dari investor baru.

Dilansir Forbes, Kamis 10 April 2014, mereka mengumumkan, saat ini nilai perusahaannya mencapai US$3,3 miliar. Baru-baru ini diketahui T. Rowe Price dan Dragoneer Investment Capital menyuntikkan modal baru sebesar US$150 juta di Atlassian.

Farquhar dan Cannon-Brookes, yang saat ini berusia 34 tahun mendirikan perusahaan IT tersebut 12 tahun lalu. Mereka diketahui tidak menjual saham dalam putaran terakhir pendanaan, sehingga diperkirakan masing-masing dari mereka memiliki 1/3 saham perusahaan atau sekitar US$1,1 miliar.

Dilansir Wall Street Journal, pada 2010 Atlassian mendapatkan investasi sebesar US$60 juta dari Accel Partners.

Lalu, apa yang menyebabkan perusahaan IT asal Australia ini berkembang lebih cepat dibanding perusahaan sejenis? Beberapa analis mengatakan hal tersebut karena Atlassian menjalankan model bisnis unik.

Atlassian mengkhususkan diri mengembangkan bisnis software secara online, seperti JIRA, produk yang mengelola proyek dan alur kerja sistem IT.

Produk software yang diproduksi Atlassian kini digunakan oleh 35.000 perusahaan di seluruh dunia, seperti BMW, American Airlines, Cisco, Facebook, dan Citigroup.

Perusahaan IT itu terus berkembang pesat dalam 10 tahun terakhir dengan tingkat pertumbuhan dalam lima tahun terakhir mencapai 40 persen.



Kedua pendiri bertemu saat masih kuliah di University of New South Wales di Sydney. Mereka yang sama-sama merupakan programmer kemudian mulai mendirikan Atlassian pada 2000an. Karena ingin mengembangkan perusahaan itu lebih serius, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk drop-out dari bangku kuliah.

Modal awal yang mereka gunakan berasal dari utang kartu kredit senilai US$10.000. Atlassian merampingkan pengembangan produk dengan beberapa jenis software yang memungkinkan pebisnis mengatur tugas dan alur kerja sekaligus berkolaborasi dengan proyek.

Berbeda dengan perusahaan software besar dunia seperti Oracle, Box, atau Workday, Atlassian lebih memilih untuk meminimalkan biaya pemasaran. Mereka memasarkan produk mereka secara online dengan harga yang kompetitif.

"Kami rasa jika menjual produk dengan harga wajar di online, kami akan menemukan pasar sendiri di sana," ujar Farquhar.

Seperti yang dialami banyak perusahaan start-up lainnya, penjualan awal Atlassian hanya dibeli oleh teman-teman dan kenalan sang pendiri. Penjualan kemudian terus berkembang dan memperoleh pembeli besar pertama yakni American Airlines.

"Dari situ kemudian kami mendapatkan pembelian dari perusahaan besar lainnya," kenang Farquhar.

Sekarang, setelah 12 tahun perusahaan IT itu memiliki pendapatan sebesar US$200 juta. Perusahaan ini memiliki kantor pusat di Sydney dan San Francisco, serta kantor cabang di Amsterdam, Yokohama, dan Manila.

"Sejak awal tujuan kami adalah membangun sebuah perusahaan yang mampu bertahan dalam jangka panjang. Kami ingin membangun sebuah perusahaan yang tetap akan bertahan menghadapi berbagai ujian. Itulah mengapa kami menghabiskan banyak waktu untuk menciptakan budaya perusahaan," imbuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar